Kamis, 22 September 2011

Partai Komunis Indonesia

Partai Komunis Indonesia
A.    Latar Belakang Sejarah
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis. 
1.      Sebelum Revolusi Indonesia
PKI didirikan oleh tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada tahun 1914 dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda. Anggotanya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis).
Pada saat pembentukan, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia, yang anggotanya masih sekitar 100 anggota dan hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, PKI dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Dibawah pimpinan Sneevliet, PKI merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada tahun 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partai sendiri yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.
Dibawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti di Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia. Pada 1919, ISDV hanya mempunyai 25 orang Belanda di antara anggotanya, dari jumlah keseluruhan kurang dari 400 orang anggota.
2.      Pembentukan Partai Komunis
Pada awalnya PKI adalah gerakan yang menyusup ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaun diangkat sebagai ketua partai.
PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920. Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis serta pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden, sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut Demokrasi Terpimpin Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
3.      Angkatan Kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan untuk mempersenjatai 40 batalion tentara secara lengkap, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi serta militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara adalah milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, dimana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah petinggi militer didalam kabinet Sukarno, tetapi mereka mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberi ceramah kepada siswa sekolah angkatan bersenjata, tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara RI dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis”.
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
4.      Isu Sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
5.      Isu Masalah Tanah dan Bagi Hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Sementara itu, di Jawa Timur juga terjadi keributan antara PKI dan NU. Kiai-kiai NU yang kebanyakan tuan tanah menolak gerakan PKI untuk membagi-bagikan tanah kepada petani yang tidak memiliki tanah.

B.     Pemberontakan dan Peristiwa-Peristiwa Sejarah
1.      Pemberontakan 1926
Pada bulan November 1926, PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13rb orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader partai, dikirim ke Boven Digul, kamp tahanan di Papua. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Sehingga, PKI bergerak di bawah tanah.
Rencana pemberontakan ini sudah dirancang sejak lama. Yakni didalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Lev Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia.
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Musso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia.
2.      Setelah kemerdekaan: Bangkit kembali
Setelah pemerintahan Jepang menyerah kepada Tentara Sekutu pada 1945, PKI muncul kembali di panggung politik Indonesia dan ikut serta secara aktif dalam perjuangan untuk merebut kemerdekaan nasional. Banyak satuan-satuan bersenjata yang berada di bawah kontrol ataupun pengaruh PKI. Meskipun milisi-milisi PKI memainkan peranan penting dalam perlawanan terhadap Belanda, Soekarno khawatir bahwa semakin kuatnya pengaruh PKI akhirnya akan mengancam posisinya.
3.      Peristiwa Madiun 1948
Pada 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Jakarta setelah mengembara selama 12 tahun di Uni Soviet tanpa pemberitahuan dan penjelasan yang kuat. Politbiro PKI dibentuk kembali, dengan pemimpinnya antara lain Dipa Nusantara Aidit, M.H. Lukman dan Njoto.
Satuan-satuan gerilya dan milisi yang berada di bawah pengaruh PKI diperintahkan untuk membubarkan diri. Di Madiun, sekelompok militer yang dipengaruhi PKI yang menolak perintah perlucutan senjata tersebut dibunuh pada bulan September tahun yang sama. Pembunuhan ini menimbulkan pemberontakan bersenjata. Hal ini menimbulkan alasan untuk menekan PKI. Sumber-sumber militer menyatakan bahwa PKI telah memproklamasikan pembentukan “Republik Soviet Indonesia” pada 18 September 1948 dengan Musso sebagai presidennya dan Amir Sjarifuddin sebagai perdana menterinya. Pada saat yang sama PKI menyatakan menolak pemberontakan itu dan menyerukan agar masyarakat tetap tenang. Pemberontakan ini ditindas oleh pasukan-pasukan republik, dan PKI kembali mengalami masa penindasan. Pada 30 September Madiun berhasil dikuasai oleh pasukan-pasukan Republik dari Divisi Siliwangi. Beribu-ribu kader partai dibunuh dan 36.000 orang dipenjarakan. Di antara mereka yang dibunuh termasuk Musso yang dibunuh pada 31 Oktober dengan alasan bahwa ia berusaha melarikan diri dari penjara. Amir Sjarifuddin, tokoh Partai Sosialis Indonesia, pun dibunuh pada peristiwa berdarah ini. Aidit dan Lukman mengungsi ke Republik Rakyat Cina. Namun PKI tidak dilarang dan terus berfungsi. Pada 1949 partai ini mulai dibangun kembali. Walau begitu, ada sejarawan yang mengatakan bahwa kasus tersebut adalah murni kesalahpahaman di dalam tubuh TNI saat itu.
4.      Bangkit kembali
Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Adit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun diantara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat.
5.      Pemilu 1955
Pada pemilu 1955, PKI menempati tempat keempat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante. Perlawanan terhadap kontrol Belanda atas Papua bagian barat merupakan masalah yang seringkali diangkat oleh PKI selama tahun 1950-an.
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di kota-kota. Pada September 1957, Masjumi secara terbuka menuntut PKI dilarang.
Pada 3 Desember, serikat-serikat buruh mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan milik asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.
Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pro Amerika Serikat yang berbasis di Sumatra dan Sulawesi, mereka mengumumkan pada 15 Februari terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan pemberontakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Pemberontakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Pada 1959 militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno menyampaikan sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas.
Meskipun PKI mendukung Sukarno, ia tidak kehilangan otonomi politiknya. Pada Maret 1960, PKI mengecam penanganan anggaran yang tidak demokratis oleh Soekarno. Pada 8 Juli 1960, Harian Rakjat memuat sebuah artikel yang kritis terhadap pemerintah. Para pemimpin PKI ditangkap oleh militer, namun kemudian dibebaskan kembali atas perintah Soekarno.
Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April, PKI menyelenggarakan kongres partai. Pada era akhir kekuasaan Soekarno, munculah suatu insiden pembunuhan jendral-jendral TNI yang disebut insiden G30S.

C.     Gerakan 30 September
Gerakan 30 September (G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 dimana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha Kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
1.  Peristiwa
Pada 30 September 1965, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
a.       Isu Dewan Jenderal
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi AD yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun tanpa diduga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
b.      Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira AD telah dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti".
c.       Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan AD tidak membawahi pasukan) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
d.      Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
§ Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
§ Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
§ Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
§ Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
§ Brig. TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
§ Brig. TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal AD)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi target utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Tetapi putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Tendean tewas dalam pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
o Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wkl Perdana
o Menteri II dr.J. Leimena)
Para korban tersebut kemudian dibuang di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
2.  Pasca Kejadian
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan AU Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno menghimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah:
”Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri diatas Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesa. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!”
Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konferensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner pada pergerakan 30 September dan para pemimpin serta pelindung mereka, untuk campur tangan dalam urusan dalam negeri Indonesia.
Ø  Asumsi Penangkapan dan pembunuhan
Setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, partai kelas buruh dan pekerja serta petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis. Namun diduga sekitar satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok pemuda dari organisasi muslim seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, 500-1 juta anggota-anggota dan pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Di Bali, yang dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Para Tamin, pasukan komando elite PNI adalah pelaku pembunuhan tersebut. Dan di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Ø  Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan melindungi keamanan pribadi serta wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Kepemimpinan PKI terus menghimbau massa agar menuruti kewenangan rezim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.